Martapura, matarakyat.co.id – Kasus sengketa tanah yang menyeret Kahpi (74), warga yang kini menjalani proses Peninjauan Kembali (PK) di Pengadilan Negeri (PN) Martapura, menyoroti persoalan serius soal kepastian hukum dalam pengurusan tanah oleh masyarakat.
Kahpi sebelumnya dijatuhi hukuman satu tahun penjara oleh Mahkamah Agung atas dugaan penyerobotan tanah.
Sidang perdana PK digelar Kamis (12/6/2025) dan dihadiri oleh tim penasihat hukum Kahpi, yang terdiri dari Dedi Sugiyanto, Oriza Sativa Tanau, Mbarep Slamet Pambudi, dan Cindy Maharani.
Sidang ini beragenda pembacaan memori PK serta pemeriksaan identitas para pihak.
“Sidang hari ini adalah tahapan awal untuk memeriksa identitas dan membacakan memori Peninjauan Kembali,” ujar Dedi Sugiyanto.
Namun yang menjadi sorotan utama adalah argumen tim hukum yang menilai adanya perbedaan mencolok dalam lokasi tanah yang disengketakan.
Berdasarkan dokumen resmi dari kantor desa, tanah milik Kahpi terletak di kilometer 17,8 Jalan Gubernur Subarjo. Sementara itu, tanah dalam sertifikat milik pelapor justru berada di kilometer 19,5.
“Perbedaan lokasi fisik ini menunjukkan adanya kekeliruan dalam menentukan objek sengketa,” jelas Dedi.
Lebih jauh, Dedi membeberkan bahwa berdasarkan keterangan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Banjar, tidak ada catatan tumpang tindih atau sengketa atas tanah yang dimiliki Kahpi ketika proses sertifikasi diajukan.
Hal ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai sistem administrasi pertanahan dan perlindungan hukum terhadap warga.
“Kalau tidak ada kejelasan seperti ini, masyarakat bisa menjadi korban. Padahal mereka berhak atas jaminan hukum saat mengurus tanahnya,” tegasnya.
Sidang lanjutan dijadwalkan berlangsung pekan depan, yang akan diisi dengan tanggapan dari pihak termohon PK serta pemaparan bukti surat.
Sementara saksi-saksi dijadwalkan akan dihadirkan dalam persidangan berikutnya.