Tapin, matarakyat.co.id – Puluhan masyarakat Desa Binderang, Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan mendatangj kantor cabang PT Bhumi Rantau Energi (BRE).
Tujuannya tak lain untuk meminta pembayaran hak milik masyarakat yang diduga tidak dibayarkan sejak 2019.
Kerabat pemilik tanah Syafrudin menuturkan bahwa pihaknya memiliki Surat Keterangan Tanah (SKT) tahun 1966.
Syafrudin mengatakan 25 hektar lahan milik masyarakat itu sudah dikerjakan oleh PT BRE sejak 2022 lalu. Namun, justru hak masyarakat tidak kunjung diterima.
“Jadi tolong untuk 25 hektar lahan yang sudah dikerjakan itu dibayarkan haknya,” ujar Syafrudin.
Ia menyebutkan ada 13 kelompok warga yang haknya belum dibayarkan. Sehingga, dirinya berharap hak milik warga itu bisa segera dibayarkan.
“Jika tidak, akan ada demo ke dua,” sebutnya.
Ditambahkan kuasa hukum masyarakat Binderang Fahrudin bahwa dari hasil unjuk rasa perdana ini, mendapat respons baik dari PT BRE itu sendiri.
Pihak perusahaan akan segera menyampaikan persoalan itu ke pihak perusahaan pusat dalam waktu dekat. Ia berharap, penyelesaian dari persoalan itu bisa segera dilakukan.
“Hasil mediasi di sana pihak BRE minta waktu untuk menyampaikan ke pusat, kita berharap ada respons baik sehingga tidak ada lagi unjuk rasa yang akan datang,” kata Fahrudin.
Sementara itu, juru bicara masyarakat Binderang Jeffry Kindangen menegaskan pihaknya akan terus memperjuangkan hak-hak masyarakat yang hingga kini tak kunjung diterima.
Ia juga menyatakan sikap tak akan mundur sebelum masyarakat menerima hak sesuai seperti perjanjian di awal.
“Mau bagaimana pun itu hak masyarakat, harus dan wajib dibayarkan. Jangan sampai perusahaan mengambil untung dengan menindas rakyat kecil,” tegasnya.
Diketahui, persoalan pembayaran hak atau fee pemilik lahan itu sudah berlangsung sejak lama.
Namun, pada (20/1/2021) silam masyarakat selaku pemilik lahan justru dilaporkan ke Polres Tapin oleh pihak ketiga.
Sejak laporan itu dibuat, tidak ada kelanjutan mengenai laporan. Sebab, masyarakat bisa membuktikan kepemilikan lahan melalui SKT tahun 1966 untuk tanah seluas 25 hektar tersebut.
Selepas laporan di Polres Tapin, pada (24/8/2022) masyarakat kembali dilaporkan ke Polda Kalsel dengan dugaan tindak pidana penipuan atau penggelapan dalam pasal 378 KUHP dan atau 372 KUHP, masyarakat dilaporkan kembali atas lahan seluas 25 hektar di lokasi yang sama.
Namun, pada 2024 lalu tak ada kelanjutan dari surat laporan itu.
Hingga akhirnya Polda Kalsel mengeluarkan surat ketentuan penghentian penyidikan.
Yang mana sejak keluarnya surat penghentian penyidikan itu, membuktikan secara langsung bahwa SKT tahun 1966 yang dimiliki masyarakat adalah sah dan diakui.
13 kelompok masyarakat selaku pemilik lahan pun tetap membayarkan pajak bumi dan bangunan (PBB) hingga tahun 2025.
Sehingga, masyarakat desa Binderang tetap menuntut adanya pembayaran hak mereka yang tak kunjung diterima.
Sementara itu, Corporate Affairs Manager PT Bhumi Rantau Energi (BRE), Joko Bagiono,

menyampaikan bahwa pihaknya tetap membuka ruang dialog guna mencari solusi terbaik bagi semua pihak yang terlibat.
“Upaya penyelesaian melalui pertemuan-pertemuan sebenarnya sudah beberapa kali kami lakukan. Namun, masih ada kendala dalam komunikasi yang belum berjalan maksimal, sehingga memicu kebuntuan,” ujar Joko.
Ia juga menyampaikan penghargaan kepada masyarakat yang menyampaikan aspirasi secara tertib dan damai.
“Kami mengapresiasi sikap masyarakat yang menyuarakan pendapat secara persuasif dan tanpa kekerasan. Semoga semua pihak bisa saling memahami demi tercapainya solusi bersama,” tambahnya.
Joko menegaskan bahwa PT BRE merupakan perusahaan yang beroperasi dengan izin resmi serta legalitas lengkap dari pemerintah.
Menurutnya, perusahaan selalu berupaya menjalankan kegiatan pertambangan sesuai ketentuan dan regulasi yang berlaku.
“Mengenai proses pembebasan lahan, sebagian sudah kami selesaikan. Namun, masih ada beberapa bidang yang memerlukan pembahasan lanjutan. Kami juga harus mempertimbangkan komitmen dan kesepakatan dengan pihak ketiga,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa perusahaan berkomitmen menyelesaikan permasalahan ini melalui jalur musyawarah.
“Kami menyadari bahwa mungkin ada pihak yang merasa belum puas. Untuk itu, kami berkomitmen menuntaskan persoalan ini dengan cara yang baik, melalui dialog dan mufakat,” pungkasnya.