Martapura, matarakyat.co.id – Di tengah derasnya arus informasi dan maraknya kontestasi narasi di ruang digital, keluhan mengenai lunturnya etika dan adab semakin sering terdengar di masyarakat.
Ungkapan seperti “Zaman sekarang sudah tidak ada etika,” menjadi refleksi keresahan kolektif atas memudarnya sopan santun, rasa hormat, dan kehalusan budi pekerti.
Namun pertanyaannya, benarkah etika telah hilang? Ataukah ia hanya tertutup debu zaman yang lebih mementingkan kecepatan ketimbang keteduhan?
Etika dalam Tradisi Islam dan Dunia Pesantren
Dalam perspektif Islam, khususnya tradisi pesantren, etika bukan sekadar pelengkap, melainkan fondasi utama peradaban.
Etika adalah cerminan dari kedalaman iman dan kematangan akal. Para santri di pesantren tidak hanya diajarkan ilmu, namun terlebih dahulu diajarkan adab.
“Etika bukan hanya urusan hubungan personal, tetapi jalinan nilai yang menjaga harmoni sosial,” ujar M. Ali Syahbana, Sekretaris LDNU Banjar.
Menurutnya, etika adalah benang halus yang menyatukan hubungan antara generasi, antara pemimpin dan rakyat, guru dan murid, bahkan antara manusia dengan Tuhannya.
Ketika etika ditanggalkan, bukan kebebasan yang lahir, melainkan kekacauan.
Adab Bisa Hilang dari Siapa Saja
Fenomena hilangnya adab bukan hanya terjadi di kalangan tertentu. Ia bisa lenyap dari siapa saja: mulai dari pedagang pasar, pemuda jalanan, hingga pejabat tinggi di ruang sidang.
Di dunia maya, kebebasan berpendapat sering kali menjelma menjadi hujatan tanpa dasar, bahkan oleh mereka yang mengklaim berilmu dan beriman.
Jabatan dan pendidikan tinggi nyatanya tidak selalu berbanding lurus dengan kematangan sikap.
Kadang, mereka yang berdakwah pun tergelincir, menyakiti saudara seiman hanya karena perbedaan pandangan.
“Kita hidup di zaman di mana popularitas tidak selalu bersanding dengan akhlak,” tulis Ali menegaskan pentingnya kerendahan hati dan kesadaran batin dalam menjaga etika.
Bentuk Mengalahkan Makna
Di era yang serba visual ini, bentuk dan citra sering kali lebih diprioritaskan daripada makna dan isi.
Orang berlomba membangun persona, namun lupa menata batin.
Banyak yang cepat menegur, tetapi enggan berkaca. Padahal, dalam Islam, ilmu yang bermanfaat mestinya melahirkan kehalusan tutur dan sikap yang lembut.
Rasulullah ﷺ menjadi teladan tidak hanya karena wahyu yang dibawa, tetapi karena akhlak beliau yang mulia.
Ketika Aisyah ditanya tentang akhlak Rasulullah, ia menjawab, “Akhlaknya adalah al-Qur’an.” (HR. Muslim)
Dakwah Etika di Era Kegelisahan
Tantangan dakwah hari ini bukan hanya menyampaikan kebenaran, tetapi menyampaikannya dengan adab.
Inilah pentingnya dakwah bil hikmah, dakwah dengan kelembutan, keteladanan, dan ketenangan.
Sebagai bagian dari Nahdlatul Ulama, Lembaga Dakwah (LDNU) memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga nilai-nilai etika dalam kehidupan sosial.
Bukan hanya sebagai penyeru kebaikan, tetapi juga penjaga akhlak dan peradaban.
“Selama masih ada yang memperjuangkan etika, maka peradaban belum benar-benar runtuh,” pungkas Ali.
Menyalakan Ulang Kesadaran
Daripada terus mengeluhkan kondisi zaman, langkah awal yang bisa dilakukan adalah memperbaiki diri sendiri.
Menjaga lisan, menundukkan ego, serta meneladani adab dalam keseharian.
Sebagaimana pepatah bijak mengatakan, “Adab bukan sesuatu yang diajarkan dengan lisan, tapi diwariskan melalui keteladanan.”
Selama etika masih hidup di hati sebagian orang, maka harapan untuk lahirnya zaman yang lebih teduh dan beradab akan terus menyala.