Martapura, matarakyat.co.id – Persidangan kasus sengketa tanah yang berlangsung di Pengadilan Negeri kembali menghadirkan keterangan penting dari saksi ahli dan kuasa hukum pihak tergugat.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), Dr. Yulia Qamariyanti, yang dihadirkan sebagai saksi ahli, menyampaikan bahwa permasalahan utama dalam sengketa tanah biasanya berkaitan dengan ketidaksesuaian antara data fisik di lapangan dan data dalam sertifikat kepemilikan tanah.
“Fakta di lapangan menunjukkan bahwa lokasi tanah yang ditunjuk oleh pemegang sertifikat berbeda dengan yang tercantum di dalam sertifikat. Hal inilah yang sering menimbulkan dugaan adanya tumpang tindih bidang tanah dengan milik orang lain,” ujar Yulia kepada awak media, Kamis (26/6/2025).
Yulia menegaskan bahwa tanah merupakan benda tidak bergerak. Artinya, tanah tidak bisa berpindah-pindah, sehingga penunjukan lokasi oleh pemegang sertifikat harus tepat dan sesuai dengan dokumen yang dimiliki.
“Masalah sering muncul karena kurangnya kejujuran dari pemilik tanah dalam menunjuk lokasi. Terlebih di daerah yang masih berupa hutan atau lahan kosong tanpa bangunan, penanda batas tanah seperti patok kayu atau batu besar sering hilang atau dipindahkan,” jelasnya.
Menurutnya, kini banyak pemilik tanah yang menggunakan penanda dari beton atau semen di setiap sudut lahan agar batas lahan tidak mudah berubah. Namun, jika lokasi yang ditunjukkan pemilik berbeda dengan kenyataan, maka hal itu bisa menjadi dasar sengketa.
Dalam kasus ini, ia menekankan bahwa kejujuran dan pemahaman pemilik terhadap posisi tanahnya sangat penting.
“Jika jarak selisih lokasi hanya beberapa meter mungkin masih bisa dimaklumi, tetapi kalau sudah mencapai satu hingga dua kilometer, itu menjadi persoalan serius,” tambahnya.
Sementara itu, kuasa hukum Kakek Kahfi, Dedi, menjelaskan bahwa saksi bernama Umar yang juga dihadirkan dalam sidang, membantah telah menerima surat resmi dari Kantor Pertanahan terkait adanya tumpang tindih lahan.
“Berdasarkan kesaksiannya, Pak Umar baru mengetahui adanya surat dari Kantor Pertanahan pada tahun 2013 saat ia sendiri datang ke kantor tersebut untuk menanyakan perkembangan permohonan sertifikat. Surat itu tidak pernah dikirim langsung ke beliau,” jelas Dedi.
Ia menekankan bahwa kliennya, Kai Kahfi, tidak pernah menerima pemberitahuan resmi dari instansi terkait mengenai adanya sengketa atau tumpang tindih tanah.
“Tanah itu dikuasai secara fisik dan administratif. Karena itu, penyelesaian kasus ini seharusnya dilakukan melalui mekanisme perdata, bukan pidana,” tegas Dedi.
Menurutnya, hingga kini belum ada putusan pengadilan perdata yang menentukan secara sah siapa pemilik lahan tersebut.
“Proses hukum pidana tidak menentukan siapa pemilik tanah. Kepemilikan harus diputuskan melalui gugatan perdata,” pungkasnya.