Martapura, matarakyat.co.id – Dalam kehidupan seorang mukmin, lisan mencerminkan kondisi hati. Ucapan bukan hanya sekadar rangkaian bunyi, tetapi representasi dari apa yang tersimpan di dalam jiwa.
Maka, seseorang yang mampu menjaga lisannya, sebenarnya sedang menjaga harga diri serta kehormatannya sendiri.
Sekretaris Lembaga Dakwah NU Kabupaten Banjar, M. Ali Syahbana mengatakan, sering kali, kerusakan dalam kehidupan manusia bukan datang dari perbuatan tangan, melainkan dari ucapan.
“Fitnah bisa bermula dari kalimat yang tampaknya sepele,” bebernya, Jumat (1/8/2025).
Permusuhan bisa timbul hanya karena satu ucapan yang tidak dipikirkan masak-masak.
Tidak sedikit hubungan sosial hancur atau amalan baik gugur hanya karena perkataan yang melukai.
Dalam tradisi para ulama, menjaga lisan bukan hanya soal sopan santun, tapi merupakan bagian penting dari latihan spiritual.
Para pencari jalan menuju kedekatan dengan Allah (salik), memilih menahan bicara bukan karena tidak mampu berkata-kata, tapi karena sadar bahwa setiap kata akan dipertanggungjawabkan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Tidaklah manusia diseret ke dalam neraka dengan wajah terlebih dahulu, kecuali karena hasil panen dari lisannya.” (HR. Tirmidzi)
Hadis ini menjadi peringatan serius bahwa kebinasaan bisa berawal dari ucapan yang tidak terkendali bukan semata dari niat jahat, melainkan karena kelalaian dalam berkata.
Di zaman ini, lisan kerap menjadi alat untuk menyakiti tanpa disadari. Ucapan yang dianggap jujur atau hanya bercanda terkadang justru menyayat perasaan orang lain.
Dalam ilmu sosial, ini dikenal sebagai bentuk kekerasan simbolik di mana harga diri orang lain direndahkan secara halus tapi menyakitkan.
Luka akibat ucapan, terutama dari orang terdekat, kadang lebih sulit sembuh daripada luka fisik.
Fenomena lain yang mulai dianggap biasa adalah kebiasaan mencela, menyebar aib, atau mengejek orang lain.
Sering kali dibungkus dengan alasan spontanitas atau sekadar lucu-lucuan.
Padahal jika tidak dijaga dengan kesadaran zikir, lisan bisa berubah menjadi sumber kegelisahan dan kerusakan batin.
Seorang kiai pernah berpesan, “Jika ingin dikenal, biarkan amalmu berbicara.
Jika ingin dikenang, diamlah dengan adab, dan biarkan Allah yang memperkenalkan dirimu.
” Nasihat ini mengingatkan bahwa keikhlasan tidak perlu teriak-teriak; cukup diam, dan biarkan kebaikan menyampaikan siapa kita sebenarnya.
Dalam pandangan Nahdlatul Ulama, lisan bukan sekadar alat untuk berbicara, tapi jembatan menuju keberkahan.
Kata-kata yang lahir dari hati yang bersih akan membawa cahaya. Sebaliknya, lisan yang dipaksa berbicara tanpa kejernihan batin, hanya akan melahirkan keburukan, meskipun dibungkus dengan dalil-dalil.
Menjaga lisan adalah perjuangan seumur hidup. Bukan hanya sekadar menahan bicara, tapi juga melatih kesadaran ruhani agar setiap kata membawa manfaat.
Dalam pergaulan sehari-hari, satu komentar remeh bisa melukai, dan satu kalimat bisa meruntuhkan martabat seseorang. Karena itu, kehati-hatian dalam berbicara sangatlah penting.
Yang dibutuhkan hari ini bukan banyaknya ucapan, tapi ketajaman makna dalam ucapan. Bukan suara keras yang didengar, melainkan isi kata yang menyentuh.
Kita butuh lebih banyak pribadi yang bersedia diam walau tahu, dan hanya berbicara jika perkataannya membawa kebaikan dunia dan akhirat.
Allah Swt. berfirman:
“Pada hari itu, Kami kunci mulut mereka, dan tangan mereka akan berbicara kepada Kami, dan kaki mereka akan bersaksi atas apa yang telah mereka lakukan.” (QS. Yasin: 65)
Tak ada seorang pun yang benar-benar aman dari bahaya lisan, kecuali mereka yang menjaga kata-katanya karena takut kepada Allah. Diam bukan kelemahan, dan bicara belum tentu menunjukkan kebesaran jiwa.
Berkah lahir dari ucapan yang dijaga, sementara kehancuran bisa datang dari kata yang tak terkendali.
Semoga kita termasuk orang-orang yang menjadikan lisannya sebagai sumber kedamaian dan kebaikan, bukan penyebab luka dan dosa.