Martapura, matarakyat.co.id – Puluhan kepala desa (pembakal) dari Kecamatan Aranio bersama tokoh masyarakat mendatangi Gedung DPRD Kabupaten Banjar, Senin (6/10/2025).
Mereka menuntut kejelasan terkait status Areal Penggunaan Lain (APL) yang hingga kini belum juga memiliki Surat Keputusan (SK) pelepasan kawasan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Kedatangan rombongan tersebut diterima langsung oleh Wakil Ketua DPRD Banjar H. Irwan Bora, bersama Ketua Komisi I dan III DPRD Banjar, serta sejumlah anggota dewan lainnya.
Turut hadir pula Kadis PUPRP Banjar, Plt Kadis PMD Banjar, Kepala BPN Banjar, Plt Camat Aranio, serta sejumlah perwakilan masyarakat.
Ketua Apdesi Kecamatan Aranio, Aunul Khair, mengatakan warga sudah bertahun-tahun memperjuangkan legalitas tanah mereka agar bisa memperoleh sertifikat dan melaksanakan pembangunan desa dengan dasar hukum yang sah.
Namun hingga kini, SK pelepasan kawasan dari KLHK belum juga diterbitkan, padahal peta APL telah diperbarui sejak tahun 2022.
“Dari BPKH dulu dikatakan lahan APL di Aranio bisa disertifikatkan. Tapi saat kami ke BPN, dijelaskan bahwa harus ada SK dari Kementerian Kehutanan. Sampai sekarang SK itu tak kunjung keluar,” ungkap Aunul.
Menurutnya, peta APL pertama kali disusun pada 2009, namun banyak kesalahan batas wilayah.
Beberapa permukiman warga justru tidak masuk ke dalam kawasan APL, sedangkan area sungai dan hutan malah tercatat sebagai APL.
Peta tersebut akhirnya diperbaiki pada tahun 2022 dengan luas total 332 hektare yang mencakup 12 desa, di antaranya Desa Aranio (23 ha), Tiwingan Lama (40 ha), dan Tiwingan Baru (48 ha).
Meski sudah memiliki peta revisi, tanpa SK dari KLHK masyarakat tetap tidak memiliki kepastian hukum atas tanahnya.
“Kami sudah punya peta resmi, tapi tanpa SK kami tidak bisa mendapatkan sertifikat. SK itulah dasar kami untuk punya hak hukum yang jelas,” tambahnya.
Sementara itu, tokoh pemuda Aranio, Bahaudin, meminta pemerintah berlaku adil terhadap warga yang tinggal di kawasan Tahura Sultan Adam.
Ia menilai ada perbedaan perlakuan antara warga lokal dengan pihak tertentu dalam pemanfaatan lahan.
“Kalau masyarakat mau bangun jalan pakai dana desa atau APBD, sering dihalangi. Tapi kalau pengusaha atau pejabat yang buka lahan di Tahura, malah dibiarkan. Seolah hukum ini hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas,” tegasnya.
Bahaudin menegaskan bahwa masyarakat tidak meminta seluruh kawasan dilepaskan dari status hutan, melainkan hanya wilayah permukiman, pertanian, dan perkebunan yang sudah dihuni turun-temurun agar dilegalkan secara hukum.
“Kami cuma ingin hidup tenang, punya legalitas, dan bisa membangun desa tanpa rasa takut. Ini bukan soal kepentingan pribadi, tapi demi keberlangsungan hidup masyarakat Aranio,” pungkasnya.