Martapura, matarakyat.co.id — Komisi III DPRD Kabupaten Banjar melakukan inspeksi mendadak ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Cahaya Kencana, Rabu (16/4/2025).
Sidak dilakukan untuk meninjau progres penanganan timbunan sampah yang masih dikelola dengan sistem open dumping, metode yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Pemerintah Kabupaten Banjar sebelumnya telah mendapat teguran dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Hanif Faisol Nurofiq, pada Desember 2024.
Dalam teguran tersebut, pemerintah daerah diminta untuk menutup seluruh tumpukan sampah dengan tanah sebelum batas waktu 30 April 2025.
Namun, hingga pertengahan April, upaya penanganan baru mencapai 40 persen. Ketua Komisi III DPRD Banjar, Abdul Razak, menyampaikan bahwa progres di lapangan sejauh ini sejalan dengan hasil rapat koordinasi yang telah dilakukan.
“Kami melihat ada langkah konkret, meski belum optimal. Namun kami tetap mengapresiasi upaya yang sudah berjalan,” ujarnya.
Meski demikian, Abdul Razak tidak menampik adanya tantangan yang dihadapi pemerintah daerah, di antaranya volume sampah yang terus bertambah setiap hari serta keterbatasan waktu menjelang tenggat.
“Kemungkinan sampai 30 April, penanganan baru bisa mencapai 50 persen,” katanya.
Pemerintah Kabupaten Banjar melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait juga telah mengajukan permohonan perpanjangan waktu kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namun hingga kini, permohonan tersebut belum mendapatkan respons resmi.
“Harapan kami, jangan sampai TPA Cahaya Kencana bernasib seperti TPA Basirih yang ditutup total,” ujar Razak.
Sementara itu, Kepala UPTD Pengelolaan Sampah dan Air Limbah DPRKPLH Kabupaten Banjar, Adi Winoto, menyampaikan bahwa pihaknya telah mulai merevitalisasi sistem sanitary landfill, khususnya di zona tiga TPA Cahaya Kencana.
“Baru sekitar dua hektare di zona tiga yang rampung. Dengan kondisi saat ini, kecil kemungkinan seluruh areal bisa ditangani sebelum akhir April,” kata Adi.
TPA Cahaya Kencana yang memiliki luas sekitar 16,5 hektare, selama beberapa tahun terakhir menerapkan sistem open dumping. Menurut Adi, penggunaan metode ini terpaksa dilakukan seiring meningkatnya volume sampah yang masuk.
“Sebelumnya kami masih mampu menggunakan sistem sanitary landfill. Namun karena keterbatasan kapasitas dan biaya, sebagian sampah bahkan harus kami kirim ke Banjarbakula dengan biaya Rp 65.000 per ton,” jelasnya.
Sistem open dumping sendiri bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Praktik ini dikategorikan sebagai pencemaran lingkungan, baik karena kelalaian maupun kesengajaan.