Banjarbaru, matarakyat.co.id – Proses Pemilihan Wali Kota (Pilwali) di Banjarbaru tahun ini diwarnai berbagai kontroversi.
Perwakilan Gerakan Masyarakat Peduli Demokrasi Banjarbaru, Rahmadi yang akrab disapa Engot.
Ia mengungkapkan kekecewaannya terhadap sejumlah keputusan penyelenggara pemilu.
Rahmadi menyoroti diskualifikasi pasangan calon (paslon) nomor urut 2, Aditya Mufti Ariffin-Said Abdullah, yang terjadi menjelang hari pemungutan suara.
“Kami tidak mempersoalkan keputusan diskualifikasi karena itu adalah hak penyelenggara. Namun, dampaknya harus dipikirkan dengan matang. Bagaimanapun, hak demokrasi masyarakat tidak boleh diabaikan,” ujar Rahmadi, kepada sejumlah awak media, Selasa (26/11/202).
Rahmadi menyoroti bahwa meskipun surat suara tetap mencantumkan paslon nomor urut 2, suara untuk paslon tersebut dinyatakan tidak sah. Menurutnya, hal ini membingungkan masyarakat.
“Kebijakan ini memunculkan pertanyaan besar. Jika suara dianggap tidak sah, di mana letak keadilan dalam demokrasi?” katanya.
Ia juga mengkritisi aturan yang kurang jelas terkait ambang batas kemenangan (threshold), yang menurutnya perlu diterjemahkan agar mudah dipahami masyarakat.
“Muncul narasi tentang kotak kosong, yang awalnya membangkitkan semangat masyarakat. Namun, kebijakan seperti ini justru mencederai kepercayaan publik. Seolah-olah semuanya telah dirancang sedemikian rupa,” ungkapnya.
Rahmadi menilai keputusan diskualifikasi terlalu terburu-buru. Ia menyebutkan bahwa keterbatasan waktu cetak surat suara semestinya sudah dipertimbangkan jauh sebelumnya.
“Seolah-olah ini sudah didesain sedemikian rupa. Hak demokrasi masyarakat direnggut secara terencana,” tambahnya.
Meski begitu, ia tetap mengimbau masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya dengan bijak.
“Jangan golput, karena golput akan merusak tatanan demokrasi,” tegasnya.
Sebagai perwakilan Gerakan Masyarakat Peduli Demokrasi Banjarbaru, Rahmadi memastikan pihaknya akan terus memantau dan menggugat jika ditemukan kecurangan dalam proses Pilwali, baik sebelum, saat, maupun setelah pemilu berlangsung.
Ia juga menyoroti adanya narasi menyesatkan bahwa suara untuk paslon nomor 2, yang tidak sah, akan dihitung sebagai suara paslon nomor 1.
“Informasi seperti ini harus diluruskan agar masyarakat tidak salah paham,” pungkasnya.